Makna Kurban Yang Hakiki [kutbah idul adha 1432 H]
Akhirnya baru bisa/sempat nulis setelah tadi pagi sebenernya aku pengen nulis tentang isi kutbah idul adha di masjid kampus dimana aku mengikuti sholat idul adha, tapi karena setelah selesai sholat aku pulang dan mendapatkan sms untuk diminta pulang gara-gara durian belakang rumah pada jatuh dan gak ada yang memakannya, maka akulah satu-satunya orang yang bisa memakan begitu banyak duren, sedangkan adekku yang cewek kan paling makan dikit doang, dan kalau adekku yang cowok gak ada di rumah karena lagi belajar di malaysia.
Ada suasana baru untuk hari raya idul adha tahun ini, tadinya aku gak pengen pulang karena nanggung kalau hari senen aku harus balik lagi ke Semarang untuk bimbingan skripsi, lagian capek kalau harus bolak balik ke Semarang-Pekalangan, padahal minggu kemaren aku juga sudah pulang. Jadi pagi-pagi bangun tidur aku langsung mandi untuk siap-siap mengikuti sholat idul adha di masjid kampus [masjdi Ulul al-Bab]. Sholat idul Adha 1432 H dimulai jam 6.30 WIB, begitu info yang disampaikan oleh panitia penyelenggara sholat idul Adha di masjid Ulul Al-Bab UNNES. Enteh jam 6.30 tepat atau kurang yang pasti pagi tadi sholat dipimpin oleh siapa itu aku lupa mencatat nama imam dan sekaligus khotibnya og. Setelah sholat selesai maka dilanjutkan dengan khutbah yang entah judulnya apa, tapi pada intinya pembicaraan yang disampaikan dalam khutbah mengenai kurban yang hakiki, bagaimana itu berkurban yang sebenarnya.
Aku sangat tertarik dengan isi kutbah yang disampaikan pagi ini, apalagi ketika sang khotib bercerita mengenai ibadah haji pada suatu tahun yang lalu ternyata yang diterima hajinya oleh Allah itu cuman 2 orang dari 3 juta orang yang berhaji di tanah suci. Dan salah satu dari kedua orang yang diterima hajinya adalah seorang penyemir sepatu di damaskus yang tidak jadi berangkat haji karena uang untuk berangkat haji yang telah lama ia tabung dihibahkan ke saudaranya yang sudah tidak makan dalam tiga hari. Sedangkan seorang yang diterima hajinya yang berada di tanah suci tidak diceritakan kisahnya oleh pak khotib. Dari cerita yang diungkapkan oleh khotib pagi itu aku sangat terhenyak [jujur], bagaimana tidak coba, seorang penyemir sepatu yang dengan susah payah mengumpulkan uang untuk memenuhi panggilan haji dari Allah terpaksa tidak berangkat haji karena uang yang telah dikumpulkan dengan susah payah itu ia hibahkan ke saudaranya/tetangganya yang sudah tiga hari tidak menikmati makanan. Sungguh sebuah niat yang suci untuk berkurban menolong orang yang tidak mampu hingga mengurbankan ibadah hajinya, tapi kenyataannya meskipun ia tidak jadi berangkat haji ke tanah suci tetap saja ia telah berhaji di hadapan Allah dengan menolong saudaranya yang tidak mampu. Inilah makna haji yang sesungguhnya, yaitu pengorbanan demi orang lain untuk mendapatkan keridhoan dari Allah SWT.
Dari kisah yang diungkapkan oleh khotib dari khutbah idul adha tadi kita bisa melihat betapa mulianya hati sang penyemir sepatu hingga rela menghibahkan harta yang telah ia kumpulkan untuk berangkat haji kepada saudaranya yang belum makan selama tiga hari. Kisah ini menurut khotib adalah sebuah kisah nyata yang dialami oleh Abdullah bin Mubarok yang pada waktu itu sedang tertidur di pinggir Ka’bah dan bermimpi mendengar percakapan dua malaikat,
Malaikat pertama bertanya kepada malaikat kedua “ada berapa jumlah orang yang berangkat haji tahun ini ? “
Malaikan kedua menjawab “ada tiga juga orang dari seluruh pelosok dunia”
Malaikat pertama bertanya lagi “ada berapa orang yang hajinya diterima oleh Allah?”
Kemudian malaikat kedua menjawab “ada dua orang, yang satunya disini (di Makkah) dan yang satunya tidak jadi berangkat haji (sang penyemir sepatu)”
Nah, sekarang kita lihat kenyataan yang ada sekarang, di indonesia saja kalau sekarang kita mau mendaftar untuk berangkat haji, kita harus mengantri hingga tujuh atau bahkan delapan tahun lagi hingga tiba giliran kita untuk berangkat, dan ini memang seperti itu karena banyaknya minat dari warga Indonesia yang ingin berangkat haji dan mendapatkan gelar haji. Hal ini sangat bertentangan dengan kenyataan bahwa di indonesia ada sekitar 30 ribu juta manusia dalam keadaan tidak layak alias kurang mampu. Memang bukan menjadi masalah niat baik kita semua untuk berangkat haji memenuhi panggilan Allah, tapi apakah kita yakin niat haji kita diterima oleh Allah sedangkan masih banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam kekurangan? Apakah kita tidak perduli dengan mereka ? apakah kita tidak disebut mengabaikan saudara-saudara kita itu ? semoga saja saudara-saudara kita yang berangkat haji tahun ini semuanya diterima niat hajinya, jadi pulang tidak hanya membawa gelar haji dari tanah suci tapi juga telah berubah menjadi haji yang sesungguhnya.
Subahanallah !I