Selamat Hari Pendidikan Nasional;
Setiap tahun pada tanggal 2 Mei kita sebagai orang Indonesia selalu
memperingati hari pendidikan nasional. Saat tulisan ini aku tulis, aku sendiri
lupa kenapa diperingati pada tanggal 2 Mei, kenapa tidak tanggal 31 Mei saja
seperti tanggal kelahiranku. Tapi seingatku tanggal 2 Mei itu kalau gak salah
adalah hari lahirnya bapak pendidikan Indonesia. Tapi tulisan ini tidak akan
membahas soal hari pendidikan yang sudah sering dibahas di tulisan-tulisan lain,
aku pengen nulis karena sudah lama sekali aku tidak nulis untuk blog ini, dan
aku merindukan saat-saat aku menulis blog, ngarang bebas sesuka hatiku, sesuka
pikiranku tanpa aku harus perduli apakah orang lain akan membaca tulisan ini
tau tidak, tapi aku berharap ada yang baca tulisan ini meskipun cuma seorang
saja (mungkin aku).
Jadi malam ini, tanggal 2 Mei aku
pengen nulis pendapatku tentang pendidikan di Indonesia yang seharusnya. Ini
terinspirasi dari tulisan yang tadi siang waktu di sekolahan aku baca, sebuah
tulisan di kaskus tentang uniknya pendidikan di Jepang. Jadi menurut tulisan
yang aku baca tadi, sekolah di Jepang tidak ada yang namanya sekolah favorit,
semua sekolah sama dan setara, baik dari SD sampai dengan SMA (entah untuk
universitasnya). Terus menurut tulisan yang aku baca tadi, yang berwenang untuk
menentukan seorang anak harus sekolah dimana adalah dinas pendidikan bukan
sekolahnya. Jadi pada waktu penerimaan peserta didik baru, semua orang tua
mendaftarkan sekolah anaknya di balaikota (dinas pendidikan mungkin maksudnya),
kemudian pihak dinas yang akan menentukan dimana anak tersebut bersekolah
dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti jauh/dekatnya jarak rumah ke
sekolah. Pernah gak lihat di pilem-pilem Jepang, dicontohkan di tulisan itu
adalah di pilem Doraemaon, bahwa tidak ada yang namanya pelajar berangkat
sekolah diantar oleh orang tua dengan menggunakan mobil/kendaraannya, itu
karena jarak sekolah menjadi pertimbangan bagi dinas pendidikan untuk
menentukan seorang anak sekolah dimana. Terus seorang anak sekolah tidak boleh
membawa gadget ke sekolahan, satu-satunya pintu komunikasi anak dan orang tua
selama di sekolah adalah sekolah itu sendiri. Padahal kita semua tau kalau
Jepang itu negara yang teknologinya maju banget, bahkan mungkin kebanyakan
gadget/barang elektronik kita adalah made in Japan. Tapi kenapa seorang siswa
tidak diperbolehkan membawa gadget ke sekolahannya ? mungkin kalian bisa
memberikan pemikiran sendiri soal hal ini.
Tapi yang paling aku kagumi
adalah dinas pendidikan menyama-ratakan semua sekolah, tidak ada sekolah
favorit bagi siapapun, karena sekolah semuanya sama. Beda banget kan sama di
Indonesia, hampir setiap kota memiliki sekolah favorit, jadi pada waktu
pendaftaran siswa baru bisa dipastikan yang namanya sekolah favorit adalah
sekolah tujuan semua calon siswa dan orang tua untuk dimasukin, sedangkan
sekolah yang tidak favorit tentu saja mendapatkan sedikit sekali pendaftar pada
waktu pendaftaran siswa baru. Pemandangan kontras ini pasti ada di setiap kota
di negara kita yang tercinta ini. Kalau dibilang bagus si ada bagusnya kalo ada
sekolah favorit dan tidak favorit, bagusnya buat sekolah favorit siswanya
biasanya yang memang memiliki kemampuan akademik/non-akademik yang lebih dari
pada sekolah non-favorit. Tapi seandainya semua sekolah sama, tidak ada
favorit/non-favorit, tidak ada RSBI/non-RSBI, tidak ada kurikulum
KTSP/kurikulum 2013, tidak ada sekolah percontohan/sekolah bukan percontohan, menurutku
mungkin ini akan membuat pendidikan lebih baik. Karena tidak lagi ada sekolah
yang hanya mendapatkan murid hanya satu kelas pada saat penerimaan peserta
didik padahal kelasnya ada sepuluh, sedangkan sekolah favorit sampai menolak-nolak
murid yang mendaftar gara-gara kelasnya dikit, seandainya semua sekolah sama.
Terus yang sampai sekarang masih
jadi pertanyaanku adalah, kenapa kita sering banget gonta-ganti kurikulum dalam
periode waktu yang singkat, sepertinya pendidikan di indonesia ini hanya sebuah
percobaan belaka, kalau percobaan berhasil maka kurikulum itu akan dipakai,
tapi kalau gagal ya ganti lagi. Padahal kenyataanya tidak seperti itu, tapi
lebih kepada politisasi pendidikan, setiap ganti kekuasaan maka siap-siap saja
kurikulum kita berubah lagi. Kalau sudah gitu, yang menjadi korban adalah murid-murid
yang bersekolah, ditambah lagi dengan bingungnya guru-guru karena setiap ganti
kekuasaan pastinya akan ada kebijakan yang berubah juga, mulai dari kebijakan
yang berhubungan dengan pendidikan ataupun kebijakan yang berkaitan dengan
pekerjaan sebagai pendidik (ini yang aku rasakan sebagai seorang guru). Aku
sendiri meskipun bingung aku hanya bisa mengikuti perkembangan kebijakan yang
ada sambil tetap menulis blog ini (itupun kalau ada yang ditulis)
#akumahapaatuh.
Aku dulu sekolah di pesantren,
disitu aku mendapatkan pelajaran bahwa tidak seharusnya sekolah
menolak/memberikan tes masuk kepada calon siswanya, karena kita semua memiliki kesempatan
dan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Bahkan Alm. Kyai Hamam Ja’far
berwasiat kepada pengelolanya agar jangan sampai menolak calon siswa/santri
baru, dan jangan pernah mengadakan tes masuk/tese penerimaan siswa baru. Tes
yang digunakan adalah hanya tes untuk membagi kelas, kelas dibagi bukan untuk
menentukan siapa yang pintar ataupun kurang pintar, tapi tes dilakukan untuk
menentukan bahwa mereka yang memiliki kepintaran lebih diharapkan bisa membantu
mereka yang kurang, artinya dalam satu kelas pasti ada yang pintar dan kurang
pintar tanpa harus mendiskriminasikan mereka. Ideologi ini sampai sekarang
masih aku pegang teguh, meskipun sampai sekarang aku tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan hal itu di instansi aku berada. Meskipun aku tidak pernah lulus
SMP dan SMA (karena aku sekolah MTs dan MA), tapi aku mendapatkan pendidikan
yang luar biasa dari pesantren plus sekolah dimana aku dulu didik (bangga sama
almamater).
Tapi meskipun aku menulis
beginian kalo aku tidak punya kuasa mau apalagi #akumahapaatuh, apalagi kalo
yang punya kuasa tidak juga mau sadar dan lebih mementingkan proyekisasi
pendidikan. Rasanya kalau udah kayak gini aku pengen mendirikan sekolah
sendiri, sekolah yang tidak pake seragam, sekolah yang tidak mengajarkan
muridnya untuk jadi sarjana doang, tapi sekolah yang mendidik muridnya untuk
jadi diri mereka sendiri, agar memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya,
baru manfaat bagi negaranya. Aku ingin punya sekolah yang tidak mengharuskan
berangkat pagi jam 7 masuk sekolah, aku ingin punya sekolah yang isinya
guru-guru muda yang punya pemikiran dan ideologi untuk mendidik bukan untuk
mencari duit sertifikasi doang. Pokoknya pengenku soal pendidikan di Indonesia
banyak banget, tapi ini hanya pengenku, entah pengenya orang lain.
0 comments
Barangkali ada kekurangan dari tulisan ini silahkan tambahkan di kolom komentar untuk berdiskusi.